cerita sukses


Oyo Saryo, mantan kuli pacul yang jadi Pengusaha BUBUR AYAM

Profesi Oyo Saryo dulunya hanyalah kuli pacul (buruh tani) biasa asal Majalengka, Jawa Barat, kini berubah menjadi seorang Bos Bubur Ayam “Mang Haji OyoTea” yang saat ini memiliki 8 cabang. Bagaimana kisah sukses Mang Oyo yang bertekad mengubah nasib yang hanya dari seorang buruh tani menjadi pengusaha bubur ayam hanya dengan bekal tekad, keuletan, dan kerja keras?
Pada hari minggu itu, di Jalan surapati, Bandung, Tepatnya dilokasi tempat bubur ayam “Mang haji Oyo Tea” terlihat sepi. Kemana pengunjung gerangan? rupanya situasi sepi tersebut bukan dikarenakan buburnya tidak laku, tetapi ternyata sudah ludes dilahap pelanggan. Hari itu, terjual habis 160 porsi. Kasir sedang menghitung hasil penjualan, sementara para pegawai sedang membereskan kursi dan meja, dan si pemilik usaha bubur tersebut, Oyo saryo, mengaso.
Pembeli rela antri untuk membeli makanan berlabel “Bubur Ayam Mang Haji (MH) Oyo Tea” tersebut. Mang Oyo, demikian ia biasa disapa, sudah berjualan bubur ayam sejak tahun 1976.
Kisah sukses Oyo Saryo merupakan gambaran kegigihan rakyat kecil yang menggeluti usaha yang nyaris hanya dengan modal dengkul, dan tekad kuat untuk mengubah nasib. Oyo adalah seorang anak petani miskin dari desa Salawangi, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka. Sewaktu ia masih kecil, ia terbiasa hidup dengan menggembalakan sapi atau kerbau untuk membiayai sekolah. Di pagi hari ia bersekolah, sedangkan di siang sampai sore hari ia menggembala ternak.
Setelah dewasa, karena kesulitan mencari pekerjaan, Oyo menjadi buruh tani atau kuli pacul dikampungnya. Namun, karena desakan kebutuhan hidup dan keinginan mencapai taraf hidup yang lebih baik, membuat Oyo akhirnya mengambil keputusan untuk merantau. Sedikit modal dari hasil bertani yang dapat dikumpulkannya, dijadikan bekal untuk merantau ke kota Bandung pada tahun 1964.
Di Bandung, ia pernah melamar ke pabrik daging, tetapi tidak diterima. Apa mau dikata, karena walaupun Oyo lulusan Sekolah Rakyat, tetapi ijazahnya telah hangus terbakar bersama rumahnya yang terbakar pada tahun 1958.
Kemudian Oyo mencoba peruntungan dengan berjualan minyak tanah keliling. Namun, setelah 3 bulan, ia merasa tidak sreg dengan pekerjaannya ini dan merasa berat membawa minyak tanah. Lalu ia beralih profesi lagi dengan berjualan keliling bubur lemu dan pacar cina dengan memakai pikulan.
Profesi penjual bubur lemu ia jalani dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1976, dan hidupnya masih biasa-biasa saja. Hasil yang ia dapat sehari-hari pun masih pas-pasan. Karena pembeli bubur lemu dan pacar kebanyakan hanya terbatas pada anak-anak.
Memasyarakatkan Olahraga
Suatu waktu Oyo terinspirasi dengan maraknya slogan pemerintah waktu itu, yakni ” Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat“. Lalu ia berfikir, “Bila warga selesai berolahraga, pasti mereka mencari santapan“, dan muncullah ide bisnis untuk berjualan bubur ayam.
Mengapa memilih berjualan bubur ayam? pertimbangannya bubur ayam disukai dan dapat dinikmati oleh segala kalangan, dari anak-anak sampai orang tua. Pada awal Oyo membuka usaha bubur ayam, menu bubur ayam yang disajikannya masih sangat sederhana. Bubur encer polos dengan taburan seledri, kacang dan kerupuk. Tetapi makin lama dan atas saran pelanggan, ia menambahkan lauk irisan daging ayam, cakue dan lain-lain.
Pertama-tama ia berjualan bubur ayam di lingkungan kantor dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa barat di kota Bandung. Selanjutnya, disebabkan oleh dinamika dan tanggapan warga sekitar, Oyo berpindah pindah lokasi usahanya. Pelanggan yang bertambah banyak memaksa ia untuk mencari tempat usaha yang lebih representatif, yaitu di Jalan Panatayuda.
Di tempat baru ini, oyo kembali menghadapi situasi dilematis. Ternyata bubur ayamnya sangat laris manis tetapi dipersoalkan oleh warga sekitar. Kendaraan pembeli yang parkir memenuhi sebagian besar area membuat warga lain protes. Pada tahun 2004, Oyo kembali membuka usaha di tempat yang baru, yakni di Jalan Sulanjana. Dan cabang pertama bubur ayamnya di lingkungan Universitas Islam Bandung tidak luput dari situasi serupa. Dan akhirnya Oyo harus pindah ke Jalan Gelapnyawang.
Walau mengalami pengalaman terpaksa berpindah-pindah lokasi, namun karena bubur ayamnya memang pas di lidah pembeli, usahanya makin lama makin berkembang. saat ini ia memiliki 7 cabang di kota Bandung, yaitu: di Jalan Gelapnyawang, Jalan Sulanjana, Jalan Ir Soetami, Jalan Surapati, Jalan burangrang, semuanya berada di kota Bandung serta kota baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat.
Pada semua cabang usahanya, dibuka sekitar pukul 06.00 dan tutup sekitar pukul 13.00, terkecuali untuk yang di Jalan Sulanjana dan Jalan Ir Soetami yang dibuka sampai dengan pukul 20.00 malam. Dan di luar Jawa Barat, ia memiliki 1 cabang yang berada di Yogyakarta.
Oyo juga sudah memahami betul arti “nama” dan profesionalisme, oleh karenanya Ia mendaftarkan “Bubur Ayam MH Oyo Tea” kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual dan Departemen Kesehatan. Selain itu, ia juga sudah mendapatkan pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia berupa setifikat halal.
Untuk kata “Tea” artinya semacam penegasan dalam bahasa Sunda. Kata “Tea” yang melekat dibelakang nama Oyo dijadikan label produk asli buatan Oyo. Bahkan ada pedagang sejenis yang mengatasnamakan dirinya. “Pokoknya, selain selain lokasi-lokasi yang sudah saya sebutkan tadi, itu Bubur Ayam MH Oyo Tea ASPAL (asli tapi palsu),”ujarnya. Oyo memberi nama yang unik untuk menunya, APEL (hati-ampela), ACAK (ayam-cakue) dan ATEL (ayam telur). Harga bubur ATEL dijual Rp 7.500 per porsi dan ACAK Rp 6.000 dan bubur komplet Rp. 10.000.
Ayo Berwirausaha
Dari hasilnya berjualan bubur ayam, Oyo dapat membangun rumah untuk dia dan keluarga bernaung. Bahkan ia sudah mampu menunaikan ibadah haji. Selain itu, Oyo juga sudah memiliki kebun seluas 3.500 meter persegi yang diisi berbagai pohon, seperti mangga, durian, kelapa, sukun dan pete. Ada juga dua mobil dan tiga sepeda motor sebagai kendaraan operasional sehari-hari.
Walaupun berasal dari kampung, Oyo menghimbau agar masyarakat desa jangan tergiur untuk pindah kekota besar. Saat ini bukan lagi masanya ber-urbanisasi. “Lebih baik berwiraswasta dan membuka lapangan kerja di daerah,” ujarnya.
Dalam pekerjaan sehari-hari, ia selalu menyertakan doa dan keyakinan kepada Tuhan. Selain itu harus alus dan pinter, ujarnya lagi dalam bahasa Sunda. Alus berarti cakap atau terampil dan Pinter artinya pintar dalam mengambil keputusan serta meraih peluang usaha yang ada. Dan ditambah dengan satu syarat lagi, yakni kreatif membuat Inovasi untuk menarik Konsumen. Semua prinsipnya tersebut membentuk kata APIK.
Rahasia Oyo dalam berbisnis adalah rela berbagi dengan sesama, tidak pelit, rajin dan sabar, tidak mengeluh saat menghadapi kesulitan dan jangan sampai membuat konsumen kecewa, baik pada poin layanan maupun produk yang dijual. Oyo sendiri mengaku cerewet dan selalu ingin tahu keinginan pelanggannya. Ia juga sering menyelingi pelayanannya dengan humor. Seperti yang ia ucapakan pada saat konsumennya selesai menyantap bubur dan beranjak pergi:
“Terima kasih …
Semoga Tuhan balas kasih,
Jangan lupa datang lagi,
Besok lusa bawa kekasih …”

Sumber referensi: Artikel yang ditulis oleh Dwi Bayu Radius pada koran Kompas.